HTML


Minggu, 15 Juni 2014

The Last Senja

Di sini. Di tempat ini kisah pedih itu berakhir. Tak banyak yang berubah. Masih sama seperti empat tahun lalu. Saat dia memutuskan hubungan di antara kami. Ya, hari itu pula terakhir kali Dini mendengar panggilan kesayangannya dari lelaki itu. “Bidadari senja” itu panggilannya dulu. Namun kini. Tak pernah ia dengar lagi panggilan itu.

“serasa baru kemarin kejadian itu” seru dini lirih. Ia memang masih selalu menyisakan kenangan pahit itu di hatinya. Dan entah kenapa. Fikirannya tak pernah lepas dari sosok Rio. Ya, Rio, lelaki yang telah banyak membuatnya menangis dan terluka.
Dini hanya terdiam menghadap senja. Memandangi mentari yang kian tenggelam. Dia bungkam dengan berjuta khayalnya. Dan seketika butiran bening itu jatuh dari kelopak matanya yang indah. Angin senja yang berhembus kala itu membuat suasana kian sendu.
“bukankah sunset itu indah?”. sebaris kalimat itu membuyarkan tangis dini. Namun dini tetap bungkam. Bahkan tak bergerak sedikitpun. Melirik pun tidak. Ia enggan untuk tau siapa lelaki itu. Ia pun tak ingin berpaling dari indahnya jingga yang menghias mega kala itu.
“masihkah ingatan pedih itu merasuk jiwamu?” Lanjut lelaki itu. Pertanyaan itu kini menyadarkan dini. Ia menoleh. Seketika, hatinya remuk redam. Dadanya mulai sesak. 

Namun ia tahan air matanya. Ia coba tersenyum. Walaupun senyum itu hambar adanya.
“Bukankah kamu tau jawabanku?”
“Maaf”
“untuk apa?” tukas dini.
“untuk hari itu. Hari yang mungkin menyakitimu” jawab lelaki itu dengan nada penyesalan
“sudahlah Rio, lupakan semua itu. Aku tak ingin mengingatnya” balas dini
Dini berpaling. Ia tak sanggup melanjutkan perbincangan itu. Hatinya hancur. Ia ingin pergi. Tapi jemari lembut itu meraih tangannya. Menggenggamnya. Erat. Benar-benar erat.
“tolong, jangan pergi dariku Dini, tetaplah di sini bidadari senjaku” pinta lelaki itu. Tapi dini tetap meronta. Ia tak ingin terlihat cengeng di depan orang yang telah banyak menyakitinya. “untuk apa? bukankah dulu kamu yang memintaku pergi?” sahut dini. “tapi itu dulu din, sekarang…”. kalimat itu terpotong. Lelaki itu kini menarik dini dalam pelukannya.
“sekarang, aku ingin memintamu kembali Din” lanjutnya lagi.
Dini terdiam. Ia bungkam. Bibirnya seolah beku. Ia membisu dalam dekap malaikat hatinya.
“bisakah kau kembali untukku?”
Dini tetap bungkam. Ia ingin. Tetapi ia terlalu sakit dengan perlakuan malaikat hatinya itu. “haruskah aku menerimanya kembali tuhan? aku ingin tuhan. Tapi bukankah dia benar-benar keterlaluan? dia membuangku dan kini dia memintaku kembali? bukankah? haaaahhh… aku tak bisa tuhan” jerit dini dalam hati.
“Maaf, Rio” sahut dini lirih. Ia hampir menjatuhkan lagi air matanya. Tapi ia mencoba menahannya.
“maaf, aku tak bisa. Aku terlalu lelah, Rio. Aku mungkin tak akan terbangun lebih lama lagi” lanjutnya lagi
“ya, aku tau jawabanmu itu. Aku mungkin terlalu kejam bagimu. Aku dulu menyiakanmu, dan kini memintamu kembali.. aku memang kejam, dan aku memang tak pantas lagi menjaga dan menyayangimu kan Din?”
“Rio” sahut dini lirih.

Seketika suasana hening. Rio yang terdiam. Kini seolah menampakkan penyesalannya. Tetes air matanya jatuh membasahi pasir putih yang terbalut senja merona. Dini menatapnya. Ia seolah merasa berdosa atas apa yang ia katakan dengan lelaki yang ia cinta itu.
“kamu menangis? apa aku menyakitimu?”
“tidak, Din. Aku tak apa, aku hanya menyesal. Mengapa dulu aku begitu bodoh melepasmu, padahal kamu wanita terbaik yang pernah hadir di hidupku setelah ibuku… tapi aku terlalu bodoh. Aku meninggalkanmu untuk bersama orang yang tak pernah mencintaiku dengan tulus. Seperti bidadari senjaku yang dulu selalu tulus memberiku rasa itu.. andai aku bisa mengulang semuanya, aku tak akan meninggalkanmu, Din.. aku mencintaimu. Dan aku akui aku menyesal..” jelas Rio.. dini yang mendengar setiap kalimat itu tak tahan lagi menahan air matanya. Ia menangis lagi. Lalu. Memeluk tubuh Rio dengan erat.
“kamu tau, aku tak pernah berhenti mencintaimu malaikat hatiku… aku selalu merindumu meski kamu menyakitiku, dan sampai kapanpun aku akan tetap mencintaimu.. tapi, maaf, aku tak bisa terus bersamamu. Aku tak mungkin lagi bertahan dengan penyakit yang terus menggerogoti tubuhku ini, Rio.. tapi, aku ingin kamu tau, bahwa cintaku ini tak akan pernah hilang untukmu.. meski maut menjemputku..” tukas Dini di antara senja yang kian redup. Dan menghitam.
 
Rio yang mendengar utaian kata itu terkejut. Ia benar-benar tak tau jika selama ini bidadari senjanya itu sakit. Kenapa bisa ia tak tau? kenapa bisa sampai selama itu dia tak pernah bertanya dan mengerti sedikitpun dengan keadaan dini? bodohnya ia yang membiarkan bidadarinya itu sendiri melawan penyakit ganas yang sampai saat ini terus menggerogoti tubuh badadarinya. Dan kini ia baru tau. Bodoh. Bodoh. Bodoh. Kata itu terus menari dalam fikiran Rio.
“jadi, selama ini kamu sakit?” tanya Rio meyakinkan.
“iya… dan sekarang, penyakit itu mulai menggerogoti saraf otakku. Ya, begitu kata dokter.. dan mungkin aku tak akn bertahan lebih lama lagi” jawab dini penuh ragu.
Jujur, Dini berat mengatakannya. Ia tak ingin malaikatnya itu semakin menyesal. Tapi, inilah yang harus ia lakukan. Ia harus mengakuinya.

Rio yang mendengar penjelasan itu lagi-lagi terdiam. Ia bingung, sedih, kecewa, marah dan takut. Apa nantinya ia akan bisa menjalaninya hidup tanpa adanya bidadarinya itu? apa ia tak akan pernah menyesal dengan semua yang ia lakukan pada dini? apa ia tak akan terus dihantui oleh penyesalannya? pertanyaan demi pertanyaan itu terus muncul di kepalanya.
“maaf, rasanya aku harus pergi. Lagi pula sunset sudah hilang, kau harus pulang…” lanjut dini lagi
“tapi…” jawab Rio terengah
“sudahlah, anggap saja hari ini tak pernah ada, Rio… aku rasa ini pertemuan terakhir kita.. selamat tinggal malaikat hatiku.. aku mencintaimu”

Lambat Dini pun mulai beranjak. Meninggalkan Rio sendiri bersama pedih dan berjuta sesalnya. Dini berjalan pelan. Menyusuri kelamnya malam. Hingga bayangnya pun samar-samar dari pandangan rio. Dan. Akhirnya.. bayangan indah bidadari senja itu pun benar menghilang dari pandanagan Rio.
“selamat jalan bidadari senjaku.. aku tak akan pernah melupakanmu..” ucap Rio dalam isakkannya

Dan sejak pertemuan itu. Meraka tak pernah bertemu lagi. Rio pun tak pernah tau dimana dan bagaimana keadaan bidadarinya sekarang. Setelah ia memutuskan untuk meninggalkan kota kenangannya itu. Dan menghilangkan setiap penyesalannya. Namun tidak dengan kenangan pedih dan indah itu. Baginya. Dini adalah memory kehidupan terindahnya. Rio juga meyakini satu hal. Bahwa. Bidadari senjanya itu kini bahagia. Dan tak akan merasa perihnya kehidupan lagi…
THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar